Kita mungkin bertanya-tanya, apakah
mungkin merumuskan suatu konsep moralitas yang bersifat obyektif? Salah satu
cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan menyelidiki apa yang
sesungguhnya kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa sesuatu baik.
Sangatlah mungkin bagi dua orang
memberikan suatu penilaian baik dengan pertimbangan-pertimbangan pribadinya
sendiri. Seperti pujian. Misalnya, saya dapat memuji sebuah pisau karena
ketumpulannya sehingga ketika saya terkena pisau itu, saya tidak mengalami
luka. Akan tetapi, saya tidak bisa menyebutkan bahwa pisau itu adalah pisau
yang baik. Lalu, bagaimana jika saya memuji orang lain sebagai orang yang
baik?.
Menurut Aristoteles, setiap manusia
memiliki kualitas khusus yang secara hakiki membedakan ia dari makhluk hidup
lainnya. Kualitas khusus ini adalah kemampuan manusia untuk menggunakan akal
budinya, baik secara teoritis maupun secara praktis. Akan tetapi, pernyataan
Aristoteles ini tetap tidak membantu kita untuk memberikan definisi tentang apa
yang dimaksud sebagai tindakan baik secara moral. Manusia juga bisa melakukan
hal-hal lainnya, seperti ketika ia membuat lelucon, yang tidak memerlukan
aktivitas akal budi teoris ataupun praktis, seperti yang dikatakan oleh
Aristoteles. Akan tetapi, fakta bahwa ia adalah seorang pelawak yang baik sama
sekali bukan tanda bahwa ia adalah orang yang baik secara moral. Keutamaan yang
baik juga bisa muncul ketika seseorang sungguh-sungguh manghayati profesinya
secara total, seperti seorang pembuat keramik yang mahir, yang tentu saja tidak
bisa dipastikan bahwa ia baik secara moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar